Minggu, 10 Juli 2011

Tarikh Tasyri'













Pergulatan Turats ( Tradisi ) dan Tajdid ( Pembaharuan )
dalam Sejarah Pemikiran Hukum Islam

A.    Pendahuluan
Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini sebagai kebenaran tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah, akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi yang berbeda.
Jika diuraikan berdasarkan kerangka ideologis, terdapat paling tidak empat kategorisasi umat Islam; tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan nasionalis-sekuler.[1]
Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik, kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis di atas tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial, kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang.[2]
Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda.[3] Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial,[4] antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality,[5]sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant dan scholarly veriant.[6] Pada makalah ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan mengenai Pergulatan Turats ( Tradisi ) dan Tajdid dalam Sejarah Pemikiran Hukum Islam.

B.     Turats ( Tradisi ) dalam Sejarah Pemikiran Hukum Islam
a.       Sejarah dan Posisi Tradisi dalam Hukum Islam
Pada tahun 50- 150 H/ 670- 767 M merupakan tahun munculnya madzhab- madzhab Teologi yang awal dan abad perkembangan fiqh tahap pertama- pada masa ini perlu dicatat bahwa adanya pertumbuhan suatu fenomena yang tepatnya dijelaskan sebagai fenomena metodologi keagamaan dalam ketiadaan bimbingan yang hidup dari Nabi dan dari generasi sahabat yang paling awal- , manifestasi dari fenomena ini dikenal sebagai Hadits atau Tradisi Nabi, yang kemudian dikumpulkan dalam seri kumpulan- kumpulan, enam diantaranya, yang ditulis pada abad ke- 3 H/ 9 M, kemudian dianggap sebagai sumber otoritatif kedua tentang islam setelah Al Qur’an.
 Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
Konsep ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat praislam.
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat.[7]
 Persentuhan antara prinsip-prinsip universal hukum Islam dengan tuntutan pranata sosial dan realita masyarakat di berbagai wilayah dalam sejarah perkembangan hukum Islam melahirkan antara lain fiqh Hijaz (fiqh yang terbentuk atas dasar tradisi atau sosiokultural di Hijaz) dan fiqh Irak (fiqh yang terbentuk atas dasar tradisi atau sosiokultural masyarakat Irak). Dalam perkembangan selanjutnya, fenomena tersebut memunculkan istilah—dalam wacana pemikiran hukum Islam—kelompok ahl ul-ra’y dan ahl al-Hadis. Ini semua menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dasar hukum Islam dan ide dasar para Imam mujtahid yang memahami dan menjabarkan prinsip-prinsip dasar tersebut mempunyai kearifan lokal yang sangat tinggi.
Nilai-nilai hukum Islam tidak lepas dari prinsip penerapan yang dianutnya, serta tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari prinsip-prinsip yang dianut dapat dilihat bahwa hukum Islam dalam prosesnya sangat memperhatikan adat (‘urf) setempat.
Adat atau ‘urf merupakan kebiasaan dalam masyarakat dan menjadi salah satu kebutuhan sosial yang sulit untuk ditinggalkan dan berat untuk dilepaskan. Oleh karena itu, dalam pembinaan hukum Islam terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam sangat memperhatikan adat (‘urf) masyarakat setempat, misalnya mengenai larangan minuman keras (khamr).
Berkaitan dengan itu, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”[8]
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash” [9]
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”[10]
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.[11] Akan tetapi, tidak semua adat (‘urf) manusia dapat dijadikan dasar hukum. Yang dapat dijadikan dasar hukum adalah adat (‘urf) yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam itu sendiri. Itulah sebabnya para ulama mengklasifikasikan adat (‘urf) ini menjadi dua macam, yaitu (1) al-‘urf al-shahih, yaitu kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang ada dalam, nash (al-Qur’an dan al-Sunnah), (2) al-‘urf al-fasid, yaitu kebiasaan yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat, tetapi kebiasaan tersebut bertentangan dengan nash atau ajaran-ajaran syari’ah secara umum.[12]
Adat (‘urf) yang dapat dijadikan hukum adalah al’urf al-shahih. Oleh karena itu, selama kebiasaan masyarakat tidak bertentangan dengan syari’at Islam, maka dapat dijadikan dasar pertimbangan penetapan hukum. Dengan demikian, sifat akomodatif hukum Islam terhadap tradisi masyarakat dapat terealisir tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.
b.      Tradisionalisme dalam Hukum Islam

Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.[13]  Menurut Achamad Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.[14]
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi. Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.[15] Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.[16]
Tradisionelisme Islam adalah gerakan pemikiran Islam yang masih terikat dan terkait kuat dengan pemikiran-pemikiran ulama fiqih, hadits, tasawuf dan tauhid, yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13.[17] Gerakan ini tumbuh subur sejak awal masuknya Islam ke Indonesia. Dengan ciri akomodatifnya terhadap tradisi-tradisi lokal, gerakan ini memberi sumbangan yang berarti bagi proses awal Islamisasi masyarakat yang berjalan secara evolutif dan relatif tanpa kekerasan. Secara garis besar, kalangan tradisionalis memiliki 3 (tiga) visi dasar dalam pemahaman keagamaan, yaitu :
a. Dalam bidang hukum, mereka menganut ajaran salah satu madzhab empat, meskipun dalam praktek sangat kuat berpegang pada madzhab Syafi‟i.
b. Dalam bidang tauhid, mereka menganut paham yang dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy‟ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
c. Dalam bidang tasawuf, kelompok ini menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim Junaidi Al-Baghdadi dan Imam Ghazali.[18]

Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan Islam.[19]
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational, pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan. Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.[20]
Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.[21]
Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.[22]
Kaum tradisionalis meyakini Syari’ah sebagai hukum Tuhan yang dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’ terdahulu.[23] Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.[24]
Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18, seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.[25]
Sementara mayoritas luas kaum Muslimin masih tetap berpegangan kepada pandangan bahwa Hadits benar- benar mencerminkan perkataan- perkataan dan perbuatan- perbuatan Nabi, maka para ahli tentang islam dari barat pada umumnya bersifat skeptis; beberapa orang di antara mereka bahkan menyarankan penolakan sama sekali hadits sebagai indeks bukan hanya mengenai contoh tauladan Nabi, tapi juga mengenai sikap- sikap dan praktek keagamaan para sahabat.  [26]
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.[27] Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat lokal.[28]
Golongan tradisi banyak menghiraukan soal-soal ibdah belaka. Bagi mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sikap ini sering menyebabkan mereka menjadi patuh buta, sebab imam madzhab fiqh atay kyai dianggap ma'sum, bebas dari kesalahan. Dalam situasi seperti itu Islam dan tafsiran tentangnya merupakan monopoli kyai belaka, sehingga fatwa kyai dianggap mutlak, final dan tidak dapat dipertanyakan lagi.[29]
C.     Tajdid dalam Sejarah Pemikiran Hukum Islam
a)      Pengertian Tajdid (Pembaruan) Hukum Islam
Dalam literatur berbahasa arab, kata yang mengandung arti pembaruan ialah kata tajdid[30]. Tajdid merupakan bentuk mashdar dari kata jaddada- yujaddidu- tajdidan. Jaddada yujaddidu artinya memperbarui. Kata jaddada- yujaddidu merupakan fi’il tsulatsi mazid (kata kerja yang huruf asalnya tiga kemudian mendapat imbuhan). [31]
Secara sederhana pembaruan atau tajdid dalam islam dapat diartikan sebagai upaya baik secara individual maupun kelompok pada kurun dan situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktik keislaman yang telah mapan kepada pemahaman dan pengamalan baru. Lazimnya, menurut Azyumardi Azra, pembaharuan bertitik tolak dari asumsi atau pandangan- yang jelas dipengaruhi situasi dan lingkungan sosial- bahwa islam sebagai realitas dan lingkungan sosial tertentu tersebut tidak sesuai dengan islam ideal, sesuai dengan cara pandang, pendekatan, latar belakang sosio-kultural dan keagamaan individu, dan kelompok pembaharu yang bersangkutan.[32]

b)      Modernisme dalam Hukum Islam
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan lagi di masa sekarang.[33]
Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau dalam konteks yang lain.
Modernisme Islam lahir merupakan gerakan pembaharuan atas kemapanan aliran tradisionalisme Islam yang telah terlebih dahulu mengakar dalam masyarakat, meskipun secara institusional (kaum tradisional) lebih belakang. Modernisme mendapat inspirasi dari gerakan purifikasi Muhammad Ibn Abdul Wahab di Jazirah Arabia dan PAN-Islamisme Jamaluddin Al-Afghani, yang kemudian mendapat kerangka ideologis dan teologis dari muridnya seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.[34] Bidang garapan pembaharuan dari gerakan pemikiran ini, lebih terfokus pada segi kelembagaan, baik bidang organisasi maupun pendidikan yang dikelola secara modern sehingga dapat memenuhi kebutuhan ummat secara kongkrit. Cara demikian dipandang sebagai alternatif guna mengentaskan masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan. Keberagamaan massa Islam yang selama ini didominasi dengan praktek-praktek tradisional, yang dalam pandangan kaum modernis sarat dengan khurafat dan bid‟ah selain bertentangan dengan Islam juga dinilai sebagai cara yang tidak akan mampu melindungi diri mereka dari pengaruh budaya Barat. Untuk itu ada ciri penting yang menjadi visi dasar modernisme, yaitu usaha pemurnian Islam dengan memberantas segala yang berbau khurafat dan bid‟ah, melepaskan diri dari ikatan madzhab dan membuka kembali pintu ijtihad.  
Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena penilaian tentang apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang yang melihat, fenomena yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya arsitektur modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.         
            Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20 tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.[35]
            Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk, Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik maupun geografis.
Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu melakukan interpretasi sepanjang masa.[36]
            Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia..[37]       
Di antara cirri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.[38]
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir rasional,[39] memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi.[40] Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social kemasyarakatan.

D.    Pergulatan Turats ( Tradisi ) dan Tajdid dalam Sejarah Pemikiran Hukum Islam
Sudah menjadi tabiat dan kecendrungan manusia, bahwa mereka suka terhadap pembaharuan, mendambakan sesuatu yang baru, dan mengikuti para pembaharu. Ini adalah perasaan yang umum terdapat diantara para pemuda dan generasi masa kini. Mereka lebih menyukai hal- hal baru ( modern ) dan meninggalkan hal- hal lama.
Pembaharuan diperbolehkan selama pembaharuan tersebut dalam batasan yang dapat diterima oleh syara’, akal dan kebiasaan (uruf). Sebab, manusia tidak mudah meninggalkan adat kebiasaan dan apa yang sudah mereka terima dan yakini. Untuk  meninggalkannya terdapat beban yang sangat besar serta kesulitan yang teramat sangat. Menyukai sesuatu yang baru tidaklah boleh melampaui hal- hal yang prinsip dalam ruang lingkup syari’ah ilahi. Karenanya, apabila kebiasaan itu merupakan sesuatu yang buruk dan menabrak hukum- hukum syari’ah dan agama, kebiasaan itu harus ditinggalkan. Masyarakat harus diberikan kesadaran untuk meninggalkannya dan beralih kepada hukum syar’i yang asli. Karena melanggar syari’ah berarti terjerumus ke dalam penyakit dan bahaya, merusak keseimbangan syari’ah secara umum.[41]
Ketika kebiasaan tidak bertentangan dengan nash syar’i, maka tidak ada larangan untuk memperbaharui hukum terdahulu jika pembaharuan yang dilakukan berdasarkan nash. Tidak ada larangan untuk menganbil tradisi baru selama ia tidak bertentangan dengan nash yang bisa merealisasikan kemashlahtan umat manusia dalam interaksi antara sesama mereka.
Urgensi pembaharuan akan tampak dalam suatu persoalan, yang dalam penerapan suatu hukum Fiqh menimbulkan beban yang teramat sangat dan kesulitan. Dalam kondisi seperti ini pembaharuan justru diperlukan, sesuai dengan prinsip “menghindari kesulitan dalam islam” ( daf’ al- haraj fi al islam ) dan kaidah umum syar’i: “kesulitan bisa menarik kemudahan” (al musyaqqah tajlib at taysir) dan “ketika sesuatu sempit, ia menjadi lapang” ( idza dhaqa al-amr, ittasa’a). Begitupula bila pembaharuan dilakukan ketika terdapat hukum fiqh yang bertentangan dengan tuntutan maslahat dan realitas yang ada, dimana maslahat tersebut termasuk yang diakui oleh syara’ dan memperhatikan tujuan sang pembuat syari’ah (Allah) dengan menjaga agama, akal, harga diri dan harta. Jadi, pembaharuan diperbolehkan demi tuntutan kemaslahatan dengan berpedoman pada prinsip “kemudahan dan kelapangan”, yang merupakan fondasi dari pembentukan hukum islam (tasyri’ islami).[42]
Menurut Marshall G. S Hodgson, sebenarnya perhatian terlalu cepat para modernis bersifat politis. Jika sesuatu yang khas muslim dimaksudkan sebagai tenaga pendorong pertahanan dan perubahan sosial, maka islam tentu berorientasi politis dan sosial. Mereka yang syari’ah minded-lah yang secara tradisional mengekspresikan perhatian terhadap sejarah dan tatanan sosial sedemikian rupa. Memang, mereka yang paling hadits minded-lah yang paling tegar mengkritik status quo- seperti para pembaharu, semisal kaum Hambaliah atau bahkan kaum pemberontak. Lagi pula, sisi islam yang tampak paling konsisten dengan tatanan masyarakat modern- yaitu yang paling mencerminkan kosmopolitanisme merkantil, individualistis dan pragmatis, bertentangan dengan norma- norma aristrokatis tatanan masyarakat agraris pramodern- telah dibawa ulama Syafi’i.[43]      
            Adanya berbagai kriteria yang nyata- universalisme, skripturalisme, egalitarianisme spritual, perluasan partisipasi sepenuhnya pada masyarakat yang suci bukan hanya bagi satu atau beberapa masyarakat tertentu saja, melainkan bagi seluruh masyarakat dan sistematisasi kehidupan sosial yang rasional- maka islamlah, dibandingkan dengan monotheisme barat yang besar sekalipun, satu- satunya yang dekat dengan modernitas.[44]
            Tradisi dalam pemikiran hukum islam adalah keseluruhan buah pikiran yang masa pertumbuhan dan perkembangannya telah berjalan lebih dari empat belas abad. Jika kita gunakan tolak ukur dari jalur argumen yang telah dipaparkan terdahulu, maka tradisi Hukum Islam di bidang pemikiran itu adalah dengan sendirinya budaya islam yang merupakan hasil dialog anatara keuniversalan hukum islam dengan kepartikularan ruang dan waktu, melalui para pemeluknya. Dari perspektif itu harus diakui adanya daya cipta luar biasa kaum Muslim terdahulu dalam menjawab tantangan zamannya berdasarkan agama dan hukum islam. [45]
   Dalam prespektif Abed al-Jabiri, mengaktualisasikan proses kebangkitan (renaissance) hanya bisa ditempuh dengan sistematisasi turats. Namun, proses ini tidak hanya berkutat pada tataran permukaan turats dan larut dalam dinamika pemahaman klasik, tapi harus menggunakan pendekatan-pendekatan sistemik dan ilmiah secara integral. Yaitu pendekatan yang mengedepankan nalar demonstratif (burhaniy) dalam kritisasi turats. Karena, pada prinsipnya konteks sosio-kultur pembentuknya telah mengalami pergeseran yang cukup radikal, sehingga fenomena-fenomena sosial yang terekam baik di masa lalu, kini sering tidak ditemukan padanannya[46]. Jadi, al-Jabiri mencoba meletakan turats diantara dua kutub dikotomik, dengan smenolak pengadopsian secara menyeluruh, pun enggan ‘menguburnya’ bersama romansa sejarah peradaban Arab-Islam klasik. Perlu adanya pembacaan kritis terhadap turats yang mampu ‘berdamai’ dengan realitas kontemporer melalui pendekatan rasionalitas secara ilmiah dan objektif.[47]
Ketika al-Jabiri mendapatkan hantaman dari berberapa pemikir kontemporer lainnnya, semisal George Tarabisyi, Ali Harb hingga Yahya Muhammad, yang menilai ada kecacatan mendasar nan akut dalam tetralogi proyek Kritik Nalar Arab (Naqd al-`Aql al-`Arab), muncul nama Taha Abdurahman, tokoh post-tradisionalis sekaligus post-strukturalis, dari belahan tanah Maroko lainnya. Dia merupakan tokoh yang menggandeng turats sebagai titik tolak revisi kontemporer, serta memanfaatkan diskursus luar Islam secara proporsional. Dalam arti, ada persenyawaan antara pendekatan kultural (seperti diskursus nalar Tashawuf dan nalar Ilmu Kalam yang dituding sebagai biang kemunduran Islam oleh beberapa pemikir kontemporer dan orientalis), dengan pendekatan logika formal (al-mantiq al-shuriy) dalam menganalisa objek kajiannya. Taha Abdurahman melakukan ‘pengirisan’ epistemik untuk menganalisa turâts ke dalam tiga struktur. Pertama, analisa problematika terminologi (muaskilah al-mushthalahat) dengan menggunakan pendekatan filsafat linguistik. Disini, peran diskursus sosiolinguistik sangat penting dalam mengurai istilah-istilah suatu peradaban untuk menjaga jarak (distanciation) denga istilah peradaban lainnya[48]. Kedua, premis umum tentang batas-batas pengetahuan (hudûd al-ma`rifah). Ketiga, analisa ulang terhadap pembagian struktur ‘subjek-objek’ melalui kacamata logika formal (al-mantiq al-shuriy), kemudian merekonstruksi pembagian tersebut dengan mempertimbangkan adanya hubungan erat antara rasionalitas (`aqlaniyah) dengan moralitas (akhlaqiyah).[49] Analisa ulang terhadap pembagian subjek-objek yang ‘tidak lengkap’ ini penting dilakukan karena ditemukannya cacat epistemologi pada framework barat sejak permulaan abad ke-17. Efek mendasar dari pembagian ini menghantarkan pada logika akut bahwa tidak ada etika dalam ilmu pengetahuan (la akhlaq fi al-`ilmi), juga tidak ada pengetahuan transendental dalam pikiran (la ghaib fi al-`aqli). Maka, dimensi etik menjadi unsur esensial pada pendekatan rasional-ilmiah.[50]
Dalam buku Tajdid al-Manhaj fî Taqwim al-Turats, Taha Abdurrahman melakukan ‘persenggamaan langsung’ dengan turâts. Turats sebagai mozaik khazanah Islam klasik menyimpan gairah dan potensi begitu besar yang mampu menjelma menjadi ruh pemikiran Islam. Dari hasil dialektikanya dengan beberapa tokoh turats kontemporer, terutama Abed al-Jabiri, dia merealisasikannya dengan menawarkan pembacaan baru terhadap turâts, yaitu pembacaan rekonstruktif (al-hadm bi al-bina). Baginya, pendekatan dekonstruktif turats (al-hadm bi al-hadm) yang acap kali ditawarkan pemikir-pemikir kontemporer -dengan memulai pembacaan fenomena peradaban dari titik nol, memendam problematika tersendiri.
Sejatinya, penawaran konsep yang cukup banyak nan beragam, justru akan dihadapkan pada sebuah polemik substansial, dimana proyek kebangkitan Islam terbentur dengan sulitnya menentukan pilihan konsepsi dan orientasi tepat-guna bagi peradaban manusia yang heterogen (majemuk). tapi bagaimanapun juga, proses kebangkitan selalu memunculkan percikan-percikan ‘api’ dan geserkan-gesekan pemikiran. Pada akhirnya -secara subjektif, penulis merasa buku ini cukup representatif dalam menghadirkan wacana revisi turâts pasca proyek al-Jabiri dan pemikir lainnya. Pemikiran Taha Abdurahman cukup akomodatif terhadap mozaik khazanah turâts Arab-Islam, yang menjadikannya pantas menyandang gelar pemikir post-tradisional.


a)      Pemikiran Fazlur Rahman tentang Tradisionalisme dan Modernisme
Rahman yang dibesarkan dalam tradisi Madzhab Hanafi yang rasionalis telah cukup banyak bergelut dengan pemikiran- pemikiran tradisionalis dan telah cukup memahami khazanah pemikiran klasik tentang Sunnah Nabi atau hadits.[51]
Ketika mengabdikan diri di Pakistan, negara kelahirannya, Rahman terlihat secara intens dalam pergelokan pemikiran tradisionalis- fundamentalis di satu sisi dan modernis di sisi yang lain. Hal ini juga telah memberikan pengalaman yang berharga bagi dirinya tentang tradisi pemikiran modernis khususnya di Pakistan. Kemudian perjalanan intelektualnya di dunia baratyang cukup lama, telah membentuk dirinya sebagai pemikir islam yang rasional dengan perangkat metodologis yang mapan.[52]
Terhadap konsep sunnah dan hadits klasik, Rahman jelas- jelas menentang. Sejak awal Rahman memang berbanding terbalik dengan muhadditsin yang mengidentikkan sunnah dan hadits.[53]
Menurut Musahadi HAM dalam buku Hermeneutika Hadits- Hadits Hukum; Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman bahwa gagasan Rahman tentang Sunnah dan Hadits merupakan elaborasi atas pemikiran- pemikiran tentang sunnah dan hadits, baik dari kalangan tradisionalis, modernis dan barat, dan Rahman menurut pandangan pandangan Musahadi memiliki perangkat ilmiah dan kualified untuk mengelaborasi ketiga pemikiran tersebut.[54]
Skeptisme Rahman terhadap historitas koleksi- koleksi hadits, yaitu hadits- hadits teknis, memang tidak berbeda jauh dengan skeptisme para sarjana barat. Skeptisme semacam ini dapat dirujuk sumbernya dalam tradisi pemikiran modernisme klasik di anak benua Indo- Pakistan yang diinagurasi oleh Sir Sayyid beserta gerakan Aligarhnya.[55]
Akan tetapi, terdapat perbedaan yang mendasar antara gagasan Rahman dengan Skeptisme hadits Modernisme klasik, karena Rahman memandang bahwa koleksi- koleksi hadits meskipun sebagian besarnya ahistoris, akan tetapi tetap merupakan manifestasi dari sunnah kaum muslimin awal yang secara organis berhubungan erat dengan sunnah ideal Nabi dan karenanya harus dipandang sebagai indeks kepada sunnah Nabi.[56]
Pemahaman Rahman yang dinamis dengan penafsiran historis atau diistilahkan juga olehnya sebagai pemahaman yang tepat dan pemahaman yang hidup terhadap hadits ini juga merupakan kritisme yang tajam bagi seruan kalangan revivalis, khususnya Ibnu Thaimiyyah untuk kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Bagi Rahman, jika kembali kepada Sunnah Nabi diartikan sebagai diartikan sebagai penerimaan terhadap koleksi- koleksi hadits shahih secara harfiah, maka berarti penerimaan total terhadap perkembangan islam historis yang terformulasikan dalam bentuk hadits- hadits tersebut.[57]
Disamping itu, pemahaman Rahman yang demikian ini juga merupakan kritik tajam bagi kebiasaan tradisional yang selama ini memperlakukan hadits sebagai proof texts, dalil- dalil keagamaan (nash) yang berharga mati, yang tidak mungkin dipahami secara dinamis.[58]

E.     Penutup
Demikian makalah tentang “ Pergulatan Turats ( Tradisi ) dan Tajdid ( Pembaharuan ) dalam Sejarah Pemikiran Hukum Islam” ini kami susun, semoga bisa memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan akhirnya penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah.  Untuk itu  sebagai manusia yang tak luput dari khilaf, penulis mengharap  saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi perbaikan penyusunan yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat, Jakarta: LP3S, 1996

Abdurrahman, Taha, Sual al-Akhlaq; Musahimah fî Naqd al-Akhlaqiy li al-Hadâtsah al-Gharbiyah

Ahmed, Akbar S., Post Modernism and Islam, London: Routledge, 1992

Azra, Azyumardi, Akar- Akar Historis Pembaruan Islam di Indonesia Neo- Sufisme Abad ke- 11- 12 H

Brown, Daniel, Rethinking Tradition
.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982

Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988

Gellner, Ernest, Muslim Society, Cambridge: Cambridge University Press, 1984

Husaini, S. Waqar Ahmad, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Terj.) Cet. I, Bandung: Pustaka, 1983 

Jabiri, Mohamad Abed al-, al-Turats wa al-Hadatsah; Dirasat wa Munaqasyat, Beirut: Markaz Dirâsât al-Wahdah al`Arabiah, cet. I, 1991

Jaenuri, Achmad, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern, Surabaya: LPAM, 2004

Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003

Maliki, Zainuddin, Agama Priyayi , Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004

Manzur, Ibn al, Lisan Al ‘Arab, jUz III, Beirut: Dar al- Fikr, 1972

Marijan, Kacung, Quo Vadis NU.

Mulkhan, Munir, Islam Murni dalam Masyarakat Petani , Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000

Musahadi HAM, Hermeneutika Hadits- Hadits Hukum; Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, Semarang: Walisongo Press, 2009

Muzadi, A. Muhith, NU dan Fikih Kontekstual, LKPPSM, Yogyakarta, 1994

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975

Noer, Deliar, Gerakan Modern

Nujaim, Zainal Abidin bin Ibrahim bin (Ibnu Nujaim), al-Asybah wa al-Naqza’ir, Beirut: Dar al Kutb al-Alamiah, 1985
Qarrafi, Syaihabuddin Ahmad ibd Idris al-, al-Furuq fi Anwa’il Buruq, Beirut: ‘Alam al-Kutb. TT.

Rahman, Fazlur, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970)

Rippin, Andrew, Muslim

Rohman, Fazlur, diterjemahkan oleh Ahsin Mohammad, Islam, Bandung: Pustaka, 1984

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid II. Cet. I , Jakarta: Logos, 1990

Wahid, M. Hidayat Nur, Tajdid Sebagai Harakah ( Gerakan), dalam Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, vol. 2, tahuin 1415 H/ 1995

Watt, Montgomery, Islamic Theolory and Philosophy.

Webstar, Noah, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged , Massachusetts, USA: G&C, 1966

Zarqa’, Ahmad bin Muhammad al-, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. Viii, Beirut: al-Qalam, 1988

Zuhayli, Wahbah dan Athiyah, Jamaluddin, diterjemahkan oleh Ahmad Mulyadi,Tajdid al- Fiqh al- Islamy: Kontroversi Pembaharuan Fiqh,Indonesia: Erlangga, 2002, hal. 96 



[1] Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, Surabaya: LPAM, 2004, 57.
[2] Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy.
[3] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Jakarta: LP3S, 1996, 11.
[4] Andrew Rippin, Muslim, 35.
[5] Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.
[6] Ernest Gellner, Muslim Society, Cambridge: Cambridge University Press, 1984, 5.
[7] S. Waqar Ahmad Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Terj.) Cet. I, Bandung: Pustaka, 1983, hal. 73 – 74. 
[8]Ahmad bin Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Cet. Viii, Beirut: al-Qalam, 1988, hal. 219. lihat juga Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim (Ibnu Nujaim), al-Asybah wa al-Naqza’ir, Beirut: Dar al Kutb al-Alamiah, 1985, hal. 93. Al-Suyuthi, al-Asybah, hal. 63. 
[9] Ahmad al-Zarqa’, Op. cit, hal. 241. 
[10]Ibid, hal. 239. 
[11]Syaihabuddin Ahmad ibd Idris al-Qarrafi, al-Furuq fi Anwa’il Buruq, Beirut: ‘Alam al-Kutb. TT., hal. 49. 
[12]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II. Cet. I , Jakarta: Logos, 1990, hal. 368.  
[13] Andrew Rippin, Op. cit, 6.
[14] Achmad Jainuri, Op.cit, 68.
[15] Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged , Massachusetts, USA: G&C, 1966, 2422.
[16] Ibid.
[17] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982 : 1 
[18] A. Muhith Muzadi, NU dan Fikih Kontekstual, LKPPSM, Yogyakarta, 1994 : 29 
[19] Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani , Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000, hal. 2.
[20] Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.
[21] Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.
[22] Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.
[23] Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26]Fazlur Rohman, diterjemahkan oleh Ahsin Mohammad, Islam, Bandung: Pustaka, 1984, hal. 52
[27] Ibid.
[28] Zainuddin Maliki, Agama Priyayi , Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004, 41.
[29] Deliar Noer, Gerakan Modern, 320-321.
[30] M. Hidayat Nur Wahid, Tajdid Sebagai Harakah ( Gerakan), dalam Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, vol. 2, tahuin 1415 H/ 1995, hal. 28. Selain kata tajdid, terkadang dipakai pula kata ishlah. Kata ishlah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja ashlaha- yushlihu yang artinya memperbaiki atau perbaikan.
[31] Ibn al manzur, Lisan Al ‘Arab, jUz III, Beirut: Dar al- Fikr, 1972, hlm. 111
[32] Azyumardi Azra, Akar- Akar Historis Pembaruan Islam di Indonesia Neo- Sufisme Abad ke- 11- 12 H
[33] Ibid., 12.
[34]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975 : 58 
[35] Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern, Surabaya: LPAM, 2004,, 94.
[36] Ibid., 127.
[37] Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, 41.
[38] Ibid., 97.
[39] Kacung Marijan, Quo Vadis NU.
[40] Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam, London: Routledge, 1992, 31.
[41] Dr. Wahbah Zuhayli dan Dr. Jamaluddin Athiyah, diterjemahkan oleh Ahmad Mulyadi,Tajdid al- Fiqh al- Islamy: Kontroversi Pembaharuan Fiqh,Indonesia: Erlangga, 2002, hal. 96   
[42]Ibid
[43] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003, hal. 14 
[44] Ernest Gellner, Op. cit, hal. 7
[45] Nurcholis Madjid, Op.cit, hal. 44
[46]Mohamad Abed al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah; Dirasat wa Munaqasyat, Beirut: Markaz Dirâsât al-Wahdah al`Arabiah, cet. I, 1991, hlm. 37
[47]Ibid, hlm. 47
[48]Selengkapnya, baca; Taha Abdurrahman, Sual al-Akhlaq; Musahimah fî Naqd al-Akhlaqiy li al-Hadâtsah al-Gharbiyah, Op. Cit., hlm. 30
[49]Ibid., hlm. 47
[50]Ibid.,hlm. 92
[51]Musahadi HAM, Hermeneutika Hadits- Hadits Hukum; Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, Semarang: Walisongo Press, 2009, hal. 143 
[52] Ibid
[53]Ibid
[54] Ibid, hal. 142
[55]Ibid, hal. 151
[56]Ibid
[57]Ibid, hal. 152
[58] Ibid  s

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop