Sabtu, 25 Februari 2012

TEORI PEMBUKTIAN DALAM PTUN



       I.            Pendahuluan
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk ke dalam hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Begitu juga dengan pembuktian dalam hukum acara PTUN.
Sebagaimana diketahui bersama, tugas seorang Hakim ialah menetapkan hukum untuk suatu keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-undang, menetapkan apakah yang “hukum” anatara dua pihak yang bersangkutan itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil (posita) yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan duduk perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu, Hakim dalam amar atau “dictum” putusannya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan siapakah yang dikalahkan. Dalam melaksanakan pemerikasaan itu tadi, Hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian. Kesewenang-wenangan (willekeur) akan timbul apabila Hakim dalam melaksanakan tugasya itu, diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan Hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. Dengan alat bukti ini, masing-masinng pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan memutusi perkara mereka.[1]
Dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan tentang Pembuktian, teori-teorinya dan alat-alat bukti dalam pengadilan PTUN

    II.            Pembuktian dalam Pengadilan Tata Usaha Negara
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.[2]
Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.[3]
·      Tujuan pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, kepada Hakim.
·      Guna pembuktian adalah sebagai dasar keputusan Hakim
·      Yang dibuktikan ialah fakta hukum yang menjadi pokok sengketa
Ketentuan mengenai pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur dalam pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN.[4]
 III.            Teori Pembuktian
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya. Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865BW, bahwa:           
” Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubungan dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu:
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan, sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja hakim menilai masih belum terbukti.
Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.[5]
b) Teori Pembuktian Terikat
Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.
Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila ia menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai “Unus Testis Nullus Testis”.
Kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menjadi 2 macam:
·           Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).
·           Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
·           Teori Pembuktian Gabungan
Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.
 IV.            Alat Bukti dalam PTUN
Dalam proses pembuktian, maka yang mendapat kesempatan membuktikan  alat-alat  bukti  yang  dimiliki  adalah   pihak penggugat terlebih dulu, dan giliran selanjutnya adalah  pihak Tergugat.[6] Dalam  sistem PTUN masalah  pembuktian, alat bukti yang dapat digunakan ditentukan jenis-jenisnya yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal  100  UU PTUN sebagai berikut:
a.          Surat atau tulisan
b.         Keterangan ahli
c.          Keterangan saksi
d.         Pengakuan para pihak
e.          Pengetahuan Hakim

    V.            Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti
            Keterangan saksi, adalah keterangan mengenai sesuatu yang dialami, dilihat serta didengar oleh saksi sendiri. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan ke saksian, apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi.[7]
Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.
Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.
Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan didengar  keterangannya  sebagai  saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU PTUN sebagai berikut:[8]
Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai  derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa
b.  Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai
c.  Anak yang belum berusia tujuh belas tahun

 VI.            Kekuatan Pembuktian Saksi
Alat bukti saksi mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya Hakim bebas memberikan penilaiannya atas kesaksian seseorang/beberapa orang yang diajukan di persidangan.
Dalam menilai kesaksian saksi ini, hakim diharuskan memperhatikan pasal 172 HIR/309 RBg yang menentukan kriteria penilaian yaitu:[9]
a. hubungan kesaksian-kesaksian apakah berdiri sendiri atau ada hubungan (kecocokannya)
b. perikehidupan, adat dan martabat saksi
c. alasan apa sehingga kesaksian itu diberikan
Sedangkan cara memeriksa saksi di depan persidangan telah ditentukan oleh pasal 144 HIR/171 RBg dan pasal 147 HIR/175 RBg, yaitu:[10]
a) pasal 144 HIR/171 RBg menentukan:
-  saksi diperiksa satu persatu
-  ditanya identitas, nama, pekerjaan, umur, dan tempat tinggal
- ditanya apakah saksi ada hubungan keluarga/pekerjaan dengan pihak-pihak berperkara
b) pasal 147 HIR/175 RBg menentukan:
-  ditanya kesediaannya sebagai saksi atau minta dibebaskan menjadi saksi bagi mereka yang termasuk pasal 146 HIR/174 RBg
-  saksi disumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangannya. Apabila saksi tidak mau disumpah atau tidak mau memberi keterangannya makaatas permintaan dan biaya pihak berperkara, Hakim dapat memerintahkan saksi disandera paling lama 3 bulan (HIR) atau sampai putusan dijatuhkan (RBg)
c) pasal 150 HIR/178 RBg menentukan:[11]
-  para pihak beperkara dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui hakim, yakni hal-hal yang relevan dengan pokok perkara.
-  hakim sendiri dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi
Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.[12]
VII.            Analisis
Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian ”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara PTUN untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara PTUN, cukup dengan kebenaran formil saja.
VIII.            Penutup
Demikianlah pemaparan yang sangat singkat mengenai Teori Pembuktian dalam PTUN. Pemakalah menyadari bahwa terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini baik kesalahan gramatikal maupun kesalahan dalam substansi. Selanjutnya pemakalah mengharap saran dan kritik yang membangun dari semua pihak guna perbaikan kedepannya. Akhir kata, semoga dari makalah ini dapat diambil manfaatnya.


DAFTAR PUSTAKA

Effendie, Bachtiar, Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.

Subekti, R., Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1995, cet. XI.

Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

Situmorang, Victor, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987.


[1]R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1995, cet. XI, hal. 2
[2]Bachtiar Effendie, dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal.
[3]Ibid
[4] Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997. Hal. 129
[5]Ibid, hal. 53
[6]Victor Situmorang, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987,  hal. 50
[7] Zairin Harahap, op.cit., hal. 132
[8]Ibid.
[9]Victor Situmorang, op.cit., hal. 74
[10]Ibid, hal. 75
[11]Ibid
[12]Zairin Harahap, op.cit., hal. 135

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hosted Desktop